BELAJAR DARI ANAK KECIL

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

BELAJAR DARI ANAK KECIL

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam kerjaan Surga” (Mat 18:3)

Fr.Ardin,SX

Kutipan di atas merupakan sebuah ajakan dan undangan dari Tuhan bagi saya dan mereka yang percaya kepadanya. Sebagai seorang yang percaya kepada Tuhan, saya perlu untuk merenungkan dan merefleksikan kalimat di atas. Mengapa harus menjadi anak kecil dan apa keutamaan yang ada dalam diri mereka? Dua pertanyaan ini akan saya jawab dalam penjelasan selanjutnya. Namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak sedang menafsirkan kata-kata atau sabda Tuhan di atas, melainkan mencoba mengkonfrotasikannya dengan pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, tulisan ini adalah sebuah refleksi atas pernyataan atau kata-kata Tuhan di atas. Refleksi saya ini, saya kaitkan dengan pengalaman kerasulan saya di tengah-tengah anak kecil yang belakangan ini saya layani di Warakas daerah Jakarta Utara.

Mengenal dan Memahami
Pada awal bulan Agustus lalu, saya mendapat tugas kerasulan untuk merasul di rumah Ozanam tempat para Suster Putri Kasih berkarya. Di rumah ini saya hadir sebagai seorang relawan untuk mengajar anak-anak. Mereka ini terdiri dari anak-anak kelas 1-6 di sekolah dasar. Mendapat tugas untuk melayani anak-anak bukan hal yang mudah bagi saya, apalagi ke tengah anak-anak yang multikeyakinan seperti ini. Untuk itu, saya harus pertama-tama belajar mengenal mereka dengan menanyakan nama dan latar belakang mereka masing-masing. Saya juga tidak lupa untuk bertanya posisi mereka dalam keluarga, sebagai anak pertama kah, kedua kah atau anak bungsu. Dari jawaban-jawaban itu saya mulai mengenal mereka sedikit demi sedikit sehingga saya bisa masuk ke dunia mereka dan menjadi seperti anak kecil. Saya sadar bahwa berhadapan dengan anak kecil mengalami banyak kesulitan, tetapi juga menyenangkan. Di rumah Ozanam ini, saya membantu mendampingi anak-anak kelas satu dan kelas empat. Pada jam 08.00-9.30, saya mendampingi anak-anak kelas satu, sedangkan jam 10.00-12.00 saya mendampingi anak-anak kelas empat. Selama beberapa bulan di tempat baru ini, saya mendapatkan banyak pengalaman berharga yang menjadi bekal bagi perjalanan panggilan saya. Misalnya pada suatu hari, seorang siswa kelas satu berbisik ke temannya bahwa saya tidak bisa menulis huruf a dengan baik, lantaran huruf a yang saya tulis tidak sesuai dengan yang tertulis di buku mereka. Katanya harus ada kakinya yang bengkok. Saya melihat bahwa mereka menulis huruf-huruf seperti yang di buku-buku ( persis seperti yang terdapat dalam keyboard komputer misalnya). Belum lagi, selama belajar ada saja anak yang usil yang tidak mendengarkan saya. Pada saat itulah saya selalu berpikir kembali ke belakang dan bertanya: seperti inikah saya ketika kelas satu di sekolah dasar? Pertanyaan itu membuat saya tidak mudah kecewa dengan prilaku anak-anak. Dari pengalaman perjumpaan itu, saya belajar untuk memahami karakterisktik anak-anak. Mereka memang kadang membuat sedikit kesal, namun mereka jujur dan terbuka. Misalnya ketika tidak bisa berhitung, mereka akan datang kepada saya untuk meminta saya supaya menjelaskan kembali karena mereka belum mengerti. Atau kadang-kadang meminta saya menambah volume suara karena mereka tidak bisa mendengar suara saya dengan baik. Hal-hal semacam ini tidak saya temukan saat saya mendampingi anak-anak muda di gereja atau mengajar agama di SMA Negeri. Dari anak kecil ini, saya belajar apa artinya keterbukaan dan kejujuran. Hidup ini harus otentik. Memang bukan hal mudah, akan tetapi jika belajar, tidak ada kata terlambat bagi mereka yang mempunyai kemauan.

Menghargai Perbedaan
Ketika sebagian kecil orang di negeri ini masih sibuk mengurus persoalan perbedaan agama, keyakinan atau kepercayaan, apa yang saya temukan dalam diri anak-anak yang saya layani sungguh luar biasa. Seperti sudah saya singgung sedikit di atas bahwa anak-anak yang belajar di rumah Ozanam ini multi agama. Anak-anak ini berasal dari agama Islam, Kristen Protestan dan Katolik. Mereka hidup rukun dan akrab satu sama lain. Mereka menampakkan diri secara riil dan nyata. Hal menarik yang saya pelajari ketika pertama kali mengetahui anak-anak ini berasal dari berbagai agama adalah soal cara berdoa. Sejak bergabung di rumah belajar Ozanam ini, anak-anak dilatih tidak saja untuk cerdas, tetapi juga beretika yang baik yaitu menghargai sesama yang berbeda. Untuk melatih mereka supaya saling menghargai satu sama lain, para suster meminta mereka supaya sebelum belajar mereka harus berdoa. Dan pemimpin doa haruslah bergilir. Semua orang harus mendapat kesemapatan untuk memimpin doa.
Di sinilah saya menemukan kejutan itu, yaitu bahwa ketika anak-anak berdoa mereka selalu mengawalinya dengan mengajak teman-temannya berdoa menurut agama dan keyakinannya masing-masing. Bunyi pengantar doa mereka seperti ini: teman-teman marilah kita berdoa menurut agama dan keyakinan kita masing-masing, tetapi ijinkan saya untuk memimpin…lalu di ikuti kata-kata ini (secara Muslim, secara Katolik, secara Protestan). Mungkin terlihat sepele. Tetapi bagi saya ini sungguh luar biasa. Bagi seorang anak kecil perbedaan bukan sebuah penghalang untuk berelasi dan belajar. Mereka bisa belajar dengan siapa saja dan di mana saja (belajar hal-hal yang baik). Dari situ saya bertanya bagaimana sikap orang dewasa menghadapi perbedaan? Terutama mereka yang menamakan diri kaum cendikiawan? Orang-orang beriman? Para pejabat di negeri ini? masihkah kita harus mempertentangkan perbedaan-perbedaan ini? pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya terusik dan dengan berani berkata, Tuhan benar. Dia mengajak saya dan mungkin kita semua untuk belajar dari anak kecil. Anak kecil mengajarkan kita banyak hal. Tingkahlaku memang mungkin sedikit “kurang ajar”, kita harus memahami itulah dunia mereka. Anak-anak di sini mengajarkan saya untuk bagaimana menghargai orang lain tanpa memandang latar belakangnya. Saya sangat bergembira ketika melihat mereka bermain bersama, bercanda bersama, dan tidak jarang juga saling membantu dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit yang diberikan oleh kakak-kakak pengajar.
Kita mungkin berpikir bahwa memang hal seperti itu sudah lumrah dalam dunia anak-anak. Tetapi perlu di ketahui bahwa tidak jarang, banyak orang tua yang kurang mendidik anak-anaknya supaya saling menghargai. Untuk konteks Jakarta, mungkin anak-anak diajarkan untuk saling bersaing, dan mungkin bersaing secara tidak sehat. Saya juga pernah menjumpai anak-anak yang begitu “srek” dengan apa yang dikatakan orang tuanya bahwa di luar agama atau keyakinannya adalah orang-orang kafir. Cara didik seperti ini tentu bukan harapan kita semua untuk generasi yang akan datang. Kita sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana orang-orang yang mudah terprofokasi untuk menghina yang lain, dengan turun ke jalan atau demo berjilid-jilid. Kita semua tidak mengharapkan generasi yang ‘gettho’. Kita semua mengaharapkan generasi muda yang cerdas tetapi juga beretika. Sudah banyak tokoh yang cerdas dan jenius di negeri ini, tetapi mungkin sedikit kurang “beretika”.

Benih Iman
Selain belajar untuk menjadi cerdas dan beretika, anak-anak yang belajar di rumah Ozanam ini juga belajar bagaiman berdoa dengan baik dan santun. Sejak kelas satu, anak-anak diharapkan sudah dibiasakan untuk berdoa sesuai dengan sikap yang layak, seperti yang diajarkan oleh agamanya. Selain itu, para suster juga menyarankan anak- anak untuk terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan religius/keagamaan seperti mengaji bagi yang muslim dan sekolah minggu bagi anak-anak Kristiani. Menurut cerita dari beberapa pembina kepada saya, ada beberapa anak yang mengalami perubahan ketika sudah sering mengaji atau ikut sekolah minggu. Dari kegiatan “rohani” itu, anak-anak diajak untuk tidak saja mengasah akal budi mereka tetapi juga hati, supaya dapat bertumbuh menjadi manusia yang seimbang yaitu cerdas tetapi juga bertakwa kepada Tuhan. Apa yang dilakukan dan diajarkan oleh para suster ini merupakan suatu contoh konkret sebagai tanggapan atas undangan Tuhan itu. Semoga semakin banyak orang mau belajar menjadi anak kecil sehingga hidup kita semua dipenuhi kebahagian dan keceriaan seperti yang terdapat dalam diri anak kecil.

Fr. Ardin, SX

Leave a Reply

Your email address will not be published.