MEMBERI DENGAN PENUH KEBEBASAN
Mendapat jatah sering kerasulan di awal tahun pelajaran rasanya seperti menulis skripsi tanpa buku sumber. Mengapa demikian, karena tidak banyak bahkan tidak ada pengalaman yang menarik untuk dibagikan karena kerasulan persisnya belum dimulai hanya sebatas survei tempat kerasulan yang baru. Terlepas dari minimnya pengalaman dan informasi yang digali dari tempat kerasulan, saya mencoba membagikan secuil pengalaman ketika mengadakan kerasulan pertama di rumah belajar senen (RBS). Tempat kerasuklan ini menarik, unik dan menantang. saya mencoba mengulas satu persatu dari ketiga unsur di atas. saya memulainya dengan tantangan.
Praktisnya kerasulan di sana dilaksanakan setiap hari Sabtu jam dua siang. Tentu jam tersebut merupakan jam maut karena rasa kantuk terus menghantui diri saya dan saya pun harus mengayuh sepeda di siang bolong dari cempaka putih menuju Senen. Tantangan ini tentu muncul dari dalam diri saya sendiri. Pada awalnya saya mengalami pergulatan, namun ketika saya mecoba merefleksikan dari kaca mata iman, saya sungguh menyadari bahwa ini merupakan bagian dari kesaksian iman yang dibarengi semangat kemartiran. Mungkin terkesan lebya, namun ini sungguh yang saya renungkan. Ada unkapan yang mengatakan bahwa, Ukuran mengasihi adalah mengasihi tanpa ukuran. Ini tentu menarik untuk direnungkan. Kutipan ini mau menekankan bahwa, dalam sebuah pelayanan yang mesti ditunjukan adalah jiwa totalitas tanpa mempertimbangkan untung rugi. Hal yang diutamakan adalah mampu untuk memberi diri seutuhnya kepada yang lain atau dalam bahasanya levinas transendensi total. Berkaitan dengan semangat kemartiran sebagaimana yang saya singgung sebelumnya, Tentu kemartiran dalam konteks keberanian untuk keluar dari zona nyaman, melawan rasa takut demi sesutau yang berguna bagi yang lain.
Kedua, kerasulan di RBS sungguh unik karena baik pembina maupun adik-adik yang kami layani mempunyai latar belakang yang berbeda baik agama, budaya warna kulit dan bahasa. Singkatnya, NKRI banget. Keunikan ini tentu menjadi sebuah kekayaan bahwa sesunggunya perbedaan itu sungguh bisa diterima terlepas dari perbedaan keyakinan dan lain sebagainya. Saya pun dengan terbuka memeprkenalkan dri sebagai calon imam, dan mereka pun menerima sayadengan senang hati. Di sana tidak ada jarak di antar kami semuanya diperlakukan sama. Kenyataan ini tentu menjadi tanda bahwa semangat persatuan, toleransi, serta sikap saling menerima adalah sesuatu yang mungkin untuk ditanamkan dalam diri anak anak sedini mungkin.
Ketiga, kerasulan di RBS sangat menarik untuk menganimasi anak-anak dan rekan pembina tentang nilai kristiani. Dalam setiap perjumpaan tentu ada dialog, baik dialog kehidupan maupun tentang pengalaman iman. Ini tentunya secara implisit iman kristiani dapat dibagikan kepada mereka sehingga mereka bisa mengenal iman kristiani lebih dalam dengan demikian, kemungkinan untuk terjadinya kesalapahaman dan kecurigaan bisa diminimalisir. Ini tentunya sebuah peluang untuk membangun kerja sama yang bisa dibarengi kegiatan animasi yang bisa mepererat semangat persaudaraan. inilah sekilas pengalaman dan refleksi saya dalam menjalankan kerasulan di RBS. Terima kasih.
Ervino Hebry Handoko