Nama saya Fransiskus Xaverius Sadono Agung Widodo, Imam Misionaris Xaverian yang bertugas di Republik Chad, Afrika Tengah. Sejak 16 Agustus 2013, di tempat inilah saya mengabdikan hidupku untuk umat Allah di Paroki Santa Maria-Magdalena Tagal dan Santo Agustinus Djodo-Gassa. Dalam sharing pengalaman ini, saya akan mengawali dengan gambaran singkat tentang Republik Chad, dua paroki di mana saya melayani umat Allah, dan akhirnya sebuah refleksi singkat tentang apa yang saya hidupi sebagai imam dan misionaris.
Republik Chad Rakyat Chad memproklamasikan kemerdekaannya pada 11 Agustus 1960. Presiden pertama republik ini adalah Fransiskus Tombalbaye. Sejak proklamasi kemerdekaan, benih-benih perpecahan bahkan pemberontakan sudah tumbuh dan berkembang. Semua dikarenakan oleh kesenjangan ekonomi antara penduduk yang bertempat tinggal di sebelah Selatan dan mereka yang bertempat tinggal di sebelah Utara negara Chad. Penduduk di bagian Selatan banyak menerima keuntungan dari sistem pendidikan yang dibawa oleh pemerintahan kolonial Perancis sejak abad ke-19. Oleh karena lebih berpendidikan, banyak pegawai negeri sipil dan petinggi militer berasal dari bagian Selatan negara itu. Situasi yang demikian tentunya bukanlah situasi kontekstual yang ideal di awal lahirnya Republik Chad.
Ketika Fransiskus Tombalbaye menjadi presiden, beliau menetapkan sistem perpajakan tanpa mengindahkan perbedaan taraf kesejahteraan ekonomi dari dua bagian besar penduduk Chad. Apalagi cara penarikan pajak seringkali mengambil jalan kekerasan terutama berhadapan dengan para penduduk di bagian Utara. Semua itu makin menambah keruh dan memperuncing rasa diskriminasi yang dialami oleh para penduduk di bagian Utara Chad. Meski belum menjadi sesuatu yang parah dan tak dapat diperbaiki, rasa dibeda-bedakan, tidak disamaratakan oleh pemerintah, tinggal dan tetap hidup di sanubari penduduk sebelah Utara Chad. Semua itu nantinya akan menjadi bom waktu yang siap meledak di tahun-tahun sesudahnya.
François Tombalbaye
Situasi politik dalam negeri semakin tidak menentu manakala Fransiskus Tombalbaye mendeklarasikan bahwa partai politik di mana dia bernaung adalah partai tunggal. Dia mewajibkan semua penduduk untuk menjadi anggota partai unik tersebut. Penahanan para oposan politik tanpa penghakiman, larangan untuk berdemonstrasi bahkan dengan kekerasan makin membuat tidak menentunya situasi politik negara Chad pasca deklarasi partai unik. Puncaknya adalah ketika Presiden Tombalbaye mengikuti jejak Mobutu Sese Seko, Presiden
Republik Zaire dengan politik otentisitasnya. Politik ini menggarisbawahi aspek originalitas satu bangsa dengan mengedepankan identitas budaya satu etnik sebagai satu-satunya identitas asli tak terbantahkan.
Politik Presiden Tombalbaye banyak menuai kritik termasuk di kalangannya sendiri. Panglima Besar Tentara Nasional Chad, Felix Malum dari kalangan terdekatnya memberanikan diri mengkritik jelas-jelasan kebijakan politik Presiden Tombalbaye. Kepala Negara Chad menjebloskannya ke dalam penjara. Popularitas Presiden Tombalbaye mulai semakin pudar di bagian Selatan Chad, sedang di bagian Utara namanya sudah hampir dilupakan orang karena peristiwa-peristiwa sebelumnya seputar pajak, kekerasan aparat negara dalam pemungutan pajak, dst.
Akhirnya terjadilah kudeta militer pada tanggal 13 April 1975 yang membawa korban jiwa. Salah satunya yaitu Presiden Tombalbaye sendiri. Sejak tahun 1975 tersebut, Republik Chad jatuh ke dalam lingkaran tiada henti kudeta, konflik bersenjata, pemberontakan, makar, dst. Semua kekacauan dan perang tiada berkesudahan yang sama sekali tidak memungkinkan bagi sebuah negara untuk memajukan penduduknya akhirnya berhenti di tahun 1990. Saat itu, sekali lagi lewat kudeta militer, Idriss Deby Itno mengambil-alih kekuasaan dari tangan Hissein Habre. Satu tahun kemudian, Idriss Deby terpilih secara demokratik sebagai Presiden dari Republik Chad. Pemilihan umum multipartai pertama sejak proklamasi kemerdekaan di tahun 1960-an.
Melihat sekilas perjalanan sejarah dan politik Republik Chad, perang, kudeta, konflik bersenjata, pemberontakan menjadi kosakata yang kerap kembali. Sungguh menyedihkan. Tetapi itulah kenyataan sejarah. Semua itu membuat Chad selalu “jalan di tempat”, sulit maju. Semua energi yang semestinya dipakai untuk membangun sebuah bangsa terbuang percuma untuk berebut kekuasaan, pengaruh demi kepentingan etnik, golongan tertentu. Seakan-akan yang terpenting adalah otot dan senjata. Tak mengherankan kalau negara Chad sejak proklamasi kemerdekaannya tidak punya indikasi ekonomi yang signifikan, yang menunjukkan kalau dia sedang berproses dan berkembang. Untunglah keuntungan dari ekploitasi minyak bumi di sekitar tahun 2003, mendorong ekonomi Republik Chad secara luar biasa terutama di kota-kotabesar. Pertumbuhan ekonomi meningkat pesat, sarana infrastruktur lahir dan bermunculan : sekolah, puskesmas, universitas, jalan aspal yang menghubungkan kota-kota besar di Chad : N’Djamena, Mundu, Sarh, Abeche, Mongo, dst.
Modernisasi negara Chad mulai menampakkan hasilnya. Satu hal yang patut disayangkan. Semua keuntungan dari petro dollar tersebut tampaknya menguntungkan semua pihak. Pada kenyataannya, praktek lama terulang kembali tapi kali ini dalam arah yang berbeda. Kalau di era Presiden Tombalbaye, bagian Selatan negara yang banyak diuntungkan, sekarang ini bagian Utara negara Chad yang
merasakan keuntungan luar biasa dari petro dollar. Sayang disayang keuntungan dari minyak bumi tidak berlangsung lama. Jatuhnya harga minyak mentah per barel beberapa waktu yang lalu, membuat negara Chad masuk dalam situasi marasme ekonomik. Ditambah buruknya cara mengadministrasi keuangan negara, meski banyak hal bisa terealisasi, Chad sampai hari ini masih termasuk dalam kategori negara miskin.
Sekadar informasi saja, di Kecamatan Djodo Gassa, tempat saya melayani sebagai imam, bangunan kokoh dengan atap seng untuk SMP hanya ada satu. Bangunan lainnya adalah konstruksi tradisional dengan kayu dan ilalang sebagai atap dan dindingnya. Sampai hari ini listrik belum ada di kota kecamatan Djodo-Gassa, akses ke air bersih belum merata. Penduduk masih minum air dari sumur terbuka dan bukannya sumur bor, apalagi air bersih dari perusahaan milik negara untuk air minum. Di musim penghujan, jalan-jalan menjadi genangan air dan lumpur yang mempersulit perdagangan dan aktivitas kemasyarakatan yang lain. Meski secara resmi tahun ajaran baru mulai pada bulan September, untuk tahun ajaran 2016-2017, sekolah mulai kembali membuka pintunya di bulan Desember yang lalu. Alasannya para guru tidak mau memulai tahun ajaran karena mereka belum digaji selama 4 bulan. Oleh karena itu, mereka mogok tidak mau mengajar. Itu semua mau menggarisbawahi bahwa masalah administrasi keuangan negara adalah salah satu problem yang harus dipecahkan oleh negara Chad bila dia ingin maju dan berkembang lebih jauh.
Paroki Santo Agustinus Djodo-Gassa dan Paroki Santa Maria-Magdalena Tagal
Dalam konteks negara yang semacam inilah, para Misionaris Xaverian hadir dan turut berkontribusi bagi perkembangan Gereja lokal Keuskupan Pala. Sejak tahun 1999-2000, para putra Santo Guido Maria Conforti hadir dan menyumbangkan tenaganya demi Gereja lokal yang makin otonom dan misioner. Di Paroki Santo Agustinus Djodo-Gassa dan juga di Paroki Santa Maria-Magdalena Tagal, para Misionaris Xaverian berusaha merealisasikan ideal misioner yang diwarisi dari Santo Guido-Maria Conforti. Dua paroki tersebut adalah bagian tak terpisahkan dari Keuskupan Pala, dengan Sang Gembala, Mgr. Yohanes Klaudius Bouchard OMI, yang menaungi 30 paroki secara keseluruhan. Etnik mayoritas di Djodo-Gassa dan di Tagal adalah Musey. Mereka pun berbicara bahasa Musey.
Sejak hadir di Djodo di sekitar tahun 2000-2001, para Misionaris Xaverian menetapkan prioritas pastoral adalah pendampingan katekumen,komunitas basis (lingkungan), pembentukan para kader pastoral seperti ketua stasi, ketua lingkungan, fasilitator lingkungan, katekis, karitas paroki, justice and peace, OMK dan kerasulan anak dan remaja. Untuk Paroki Santa Maria-Magdalena Tagal, para Misionaris Xaverian meneruskan saja apa yang telah dirintis para imam Fidei Donum dari satu keuskupan di Swiss. Namun perlu digarisbawahi bahwa prioritas pastoral yang diutamakan adalah sama.
Paroki Santo Agustinus Djodo-Gassa boleh dikatakan buah karya dari para putra Santo Guido-Maria Conforti. Adalah Pastor Marco Bertoni SX dan Bruder Renato Tossato SX, dua pionir yang mendampingi umat Allah di Djodo-Gassa sehingga menjadi sebuah paroki. Paroki Santa Maria-Magdalena Tagal mempunyai 8 stasi dan 23 lingkungan. Lingkungan bisa diasosiasikan dengan sebuah desa dengan 200 hingga 300 jiwa penduduk. Umat Kristiani di satu lingkungan biasanya adalah satu minoritas di antara penganut agama tradisional. Adat-istiadat warisan dari para leluhur orang Musey masih sangat kuat di sini. Salah satu praktek yang diwarisi oleh orang Musey adalah perkawinan poligami, seorang laki-laki dewasa yang punya lebih dari satu istri dan praktek « mewarisi » istri dari saudara lelaki yang meninggal dunia.
Praktisnya, jika seorang Musey yang beranak serta beristri meninggal dunia, istri-istrinya berhak memilih dengan siapa mereka akan melanjutkan hidup mereka. Para istri dari beliau yang meninggal dunia, bisa memilih di antara saudara lelaki atau sepupu dari suami mereka yang berpulang. Praktek ini mempersulit pastoral keluarga misalnya. Sebuah tantangan besar, yaitu bagaimana mengedepankan perkawinan sebagai sakramen, anugerah keselamatan dari Tuhan lewat pertukaran janji setia sehidup-semati dari pasangan suami-isteri. Praktek poligami juga memperumit penghayatan iman Kristiani dari umat sekalian. Ambil contoh seorang gadis lahir dalam keluarga Katolik. Setelah kurang lebih 4 tahun pelajaran agama, dia menerima sakramen baptis dan komuni pertama. Tetapi satu hari, seorang pria yang sudah punya 2 istri, hendak mempersunting gadis tersebut untuk dijadikan istrinya yang ketiga. Karena di sini, mempersunting anak gadis seseorang berarti juga harus memberikan mas kawin (mahar) untuk orang-tua gadis dan kerabat dekat orangtuanya, sering tawaran uang dalam jumlah besar membuat iman orangtua anak gadis goyah sehingga mereka meyakinkan anak gadis mereka untuk menerima pinangan pria yang mau meminangnya sebagai istri ketiga.
Menurut ketentuan Keuskupan Pala, pelajaran agama untuk bisa menerima sakramen baptis dan komuni pertama berlangsung tiga tahun enam bulan. Dalam tiga tahun enam bulan tersebut, para calon baptis, seperti setiap umat Kristiani, mesti turut berpartisipasi dalam menanggung beban ekonomi paroki dengan membayar DC (Denier du culte), semacam pajak untuk membantu kehidupan paroki dan juga keuskupan. Tiap tahunnya, romo bersama dengan umat stasi dari para calon baptis yang bersangkutan akan melihat hasil dari dua kali evaluasi, rekoleksi bulanan, jumlah kehadiran di setiap perayaan Ekaristi mingguan, jumlah kehadiran di pelajaran agama dan juga apakah tiap tahunnya para calon baptis berusaha membayar iuran wajib mereka (laki-laki berkeluarga Rp. 30.000,00 ; wanita berkeluarga Rp. 20.000,00 ; anak/remaja Rp. 16.000,00; wanita lanjut usia Rp. 16.000,00 ; pria lanjut usia Rp. 20.000,00).
Tahap pertama adalah (simpatisan) dalam bahasa Musey mereka disebut suu ci-yoona (Mereka yang minum air). Dalam tata kesopanan
Musey, jika seorang tamu datang berkunjung ke sebuah keluarga, hal pertama yang akan diberikan kepada sang tamu adalah air minum. Begitu pula dalam Gereja Katolik, saat simpatisan menyampaikan hasratnya untukmengikuti Yesus dalam sakramen baptis, maka lingkunganlah yang pertama-tama bertanggung-jawab untuk menerimanya lewat katekese/pelajaran agama selama satu tahun. Upacara yang menyertai ritus penerimaan pertama ini diselenggarakan di tiap stasi dari para simpatisan. Tanda yang diberikan adalah pemberian air minum kepada para simpatisan tersebut.
Tahap keduaa dalah ritus penerimaan sebagai katekumen. Dalam bahasa Musey, para simpatisan yang diterima secara resmi sebagai katekumen disebut suu kal huu deera (mereka yang masuk ke dalam keluarga Yesus). Tanda yang diberikan salib dan kartu katekumen. Tahap katekumen ini juga berlangsung selama setahun. Menjelang akhir tahun, prestasi kerja para katekumen tersebut akan dilihat bersama dengan umat dari stasi mereka yang bersangkutan: daftar hadir di pelajaran agama, rekoleksi bulanan, dua kali evaluasi, iuran wajib.
Tahap ketiga adalah ritus redditio symboli dan traditio pater noster. Dalam bahasa Musey, mereka yang masuk dalam tahap ketiga ini dikenal sebagai suu tin huuna (mereka yang memproklamasikan iman Katolik). Pada tahun ketiga masa persiapan menuju sakramen baptis, para katekumen akan memproklamasikan Syahadat Para Rasul dan doa Bapa Kami. Tahap ini pun berlangsung selama satu tahun.
Tahap terakhir adalah tahap pemilihan final. Dalam bahasa Musey, mereka dikategorikan dalam tahap ini disebut suu ngabina (mereka yang terpilih). Setelah melewati penyelidikan seputar pelajaran agama, rekoleksi bulanan, partisipasi Misa, dua evaluasi tahunan, iuran
wajib dan juga seputar tingkah laku serta moralitas para katekumen, di akhir tahun ketiga para katekumen akan dilihat bersama oleh para romo dan umat di tiap stasi jika mereka layak dinyatakan sebagai yang dipilih untuk menerima sakramen baptis dan komuni pertama. Tahap ini berlangsung selama enam bulan. Di penghujung waktu enam bulan tersebut, mereka akan dievaluasi kembali bukan oleh umat bersama stasi bersama romo tapi oleh Dewan Paroki. Kriteria yang diterapkan adalah sama dengan evaluasi untuk ketiga tahap lainnya.
Setiap tahap di atas selalu didahului oleh retret persiapan selama tiga hari (Kamis sampai dengan Sabtu) di tempat biasa diselenggarakan
Misa mingguan. Hari Minggu dalam Ekaristi biasanya dirayakan juga ritus yang sesuai dengan tahap yang sedang dijalankan. Di Paroki Santo Agustinus Djodo-Gassa ada tiga pusat untuk perayaan Ekaristi : Djodo-Bisera (di sini berkumpul setiap dua minggu sekali untuk Misa delapan stasi) ; Djodo-Gassa (tiap dua minggu sekali umat Kristiani dari enam stasi berkumpul untuk perayaan Ekaristi) dan Go Baw (tiap dua minggu sekali umat Kristiani dari empat stasi berkumpul untuk merayakan misteri sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus).
Sedangkan di Paroki Santa Maria Magdalena Tagal, tiap dua minggu sekali umat Kristiani berkumpul untuk merayakan Ekaristi. Sebenarnya di Paroki Tagal juga ada tiga pusat untuk Misa: Goli yang mengumpulkan tiga stasi, Tanang yang menyatukan tiga stasi juga dan Zindulla yang mengumpulkan dua stasi. Karena kurangnya dana, sampai sekarang para romo baru mulai mengembangkan lebih lanjut Goli sebagai pusat untuk perayaan Ekaristi di masa depan.
Dari ki-ka : P.Alfon (Yogya), P.Deni (Jepang), P.Kadek (Mexico), P.Agung(Chad),P.Wawan (Taiwan)
Jumlah romo Misionaris Xaverian yang sampai saat ini melayani dua paroki tersebut ada tiga orang. Romo David Rocky Gomes yang berkebangsaan Bangladesh (kepala paroki dari dua paroki), Romo Robert Nganiza Bulika dari Repbulik Demokratik Kongo dan saya sendiri. Ada juga satu romo yang tidak permanen di Djodo-Gassa dan di Tagal. Namanya Romo Salvador Romano y Vidal yang berasal dari Catalonya, Spanyol. Tiap dua minggu sekali, beliau datang untuk membantu kami bertiga. Tugas utamanya adalah ekonom Keuskupan Pala. Ada juga seorang frater TOM yang tinggal dan bekerja bersama kami selama hampir sudah satu tahun. Di bulan Juli tahun ini, dia akan kembali ke Yaounde (Kamerun) untuk meneruskan kuliah teologinya.
Demikianlah, kurang lebih paparan singkat tentang dua paroki di mana para Misionaris Xaverian di Republik Chad bekerja mewartakan Kristus kepada mereka yang belum mengenal-Nya. Di samping Djodo-Gassa dan Tagal, masih ada dua paroki lain yang dilayani oleh para putra Santo Guido-Maria Conforti, yaitu di Gunu-Gaya dan Domo. Dua paroki tersebut juga berada di tengah-tengah orang Musey.
Refleksi tentang pengalaman misioner yang sampai hari ini saya hidupi
Kesan pertama yang saya tangkap begitu mulai terjun 100% dalam aktivitas pastoral-misioner adalah begitu banyak hal yang dilakukan di
sini. Langsung muncul juga pertanyaan bagaimana nantinya mengembangkan umat Kristiani yang bertanggung-jawab akan anugerah hidup baru dalam Yesus Kristus jika semuanya harus dikerjakan oleh para romo? Memang betul, merasul dan menjalani panggilan hidup sebagai rasul menurut Santo Guido-Maria Conforti di Chad, bukan pekerjaan dan aktivitas yang kurang. Selalu ada saja yang dikerjakan. Tapi itu tidak berarti semua berpusat pada figur seorang romo. Dengan segala kelebihan dan kekurangan umat Kristiani di sini, selalu ada, sayangnya tidak banyak, saudari-saudara umat Kristiani yang siap membantu untuk membangun sebuah komunitas Kristiani yang otonom dan misioner. Mungkin saya temukan orang-orang tersebut dalam figur seorang ketua stasi, ketua lingkungan, katekis, fasilitator paroki, dst. Saya pribadi yakin seyakinnya. Misi yang saya emban bersama dengan para konfratres di sini bukanlah misi kami pribadi. Misi ini adalah misi Yesus.Tugas perutusan yang Dia terima dari Bapa-Nya. Yesus yang berbicara dan menginspirasi Santo Guido-Maria Conforti untuk menjadi kenangan aktual dan hidup tentang hakikat misioner Gereja dengan mempersembahkan diri secara total untuk karya pewartaan. Dalam rangkaian misi yang berasal dari Bapa, Yesus, keluarga Misionaris Xaverian, saya menemukan tempat dan cara untuk berpartisipasi dalam karya agung Tuhan: memperkenalkan Kristus kepada me-reka yang belum mengenal-Nya.
Satu hal yang saya lupa sebutkan dalam paparan singkat tentang negara Chad adalah letak geografisnya dan konsekuensi meteorologisnya. Letak negara Chad yang berbatasan langsung dengan Gurun Sahara sangat mempengaruhi suhu udara harian dan iklim negara ini. Musim hujan berlangsung hanya selama enam bulan. Curah hujan adalah sekitar 900-1000 mm/tahun. Di bulan Oktober biasanya hujan sudah berhenti sama sekali. Kondisi iklim yang sedimikian sangat mempengaruhi tanaman pangan dan budidaya yang orang Chad kembangkan. Sorgum, jagung, kacang-tanah, kapas, wijen adalah jenis-jenis tanaman yang bisa hidup dengan curah hujan yang tidak begitu banyak per tahunnya. Kondisi yang demikian juga tidak gampang untuk orang sini, yang nota bene sudah terbiasa dengan apa yang ada. Apalagi untuk orang dari tempat, budaya dan iklim yang sama sekali lain. Hal ini juga yang menjadi tantangan untuk saya. Adaptasi terhadap iklim, makanan dan keterbatasan bahkan kekurangan untuk hal yang paling saya anggap sepele karena begitu mudahnya hal tersebut saya temukan di Indonesia, Misalnya: buah-buahan dan sayur-mayur. Suhu udara pada puncak-puncaknya musim kemarau yaitu pada bulan Maret dan April bisa mencapai 45 derajat celcius. Pada suhu sepanas ini, manakala tiba saatnya harus pergi ke stasi untuk rekoleksi masa pra-paskah bersama umat, betul-betul suatu perjuangan tersendiri pokoknya. Untuk catatan saja, setiap adven dan pra-paskah, para romo pergi ke setiap stasi untuk rekoleksi bersama umat. Waktu masa Adven, biasanya juga ada pesta syukur atas panenan, pengakuan dosa, kunjungan keluarga. Sama halnya di masa pra-paskah, ada Misa pemberkatan benih, pengakuan dosa, pengurapan orang sakit, kunjungan keluarga.
Saya mensyukuri apa yang saya hidupi sekarang ini. Ada selalu godaan dalam diri saya untuk menganggap bahwa karya pelayanan saya di Chad sampai hari ini adalah untuk sementara saja sembari menunggu tempat penugasan baru yang akan diberikan kepada saya. Setiap hari, saya selalu berusaha untuk menghidupi semangat misi yang tanpa pamrih dan selalu siap sedia. Seumur hidup pun, kalau para atasan menghendaki supaya saya meneruskan karya pelayanan ini di Chad. Saya akan menjawab « ya, saya bersedia ». Tiap hari yang saya lewati di sini adalah hari yang penuh dengan kejutan dari Tuhan. Memang, kejutan-kejutan itu tidak dapat saya bandingkan dengan pengalaman-pengalaman misi di daerah-daerah lain, tempat Misionaris Xaverian berkarya. Apalah artinya kejutan ini atau kejutan itu, yang ada adalah sapaan Tuhan yang meminta kesiapsediaan saya untuk menjawabnya. Saya yakin bahwa di mana pun saya berada, jika mata hati saya terbuka karena terang iman, saya akan menyaksikan karya-karya agung Allah di tengah umat-Nya.
Akhir kata, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk sekedar berbagi kisah dan pengalaman. Saya sadar kalau apa yang saya bagikan tidaklah menyeluruh dan mencakup semua aspek dari kehidupan yang saya hayati di sini bersama umat Allah di Djodo-Gassa dan Tagal. Atas keterbatasan tersebut, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya dari para pembaca semua. Untuk betul-betul mengakhiri apa yang saya tulis, saya ingin melontarkan pertanyaan kepada para pembaca khususnya mereka yang masih muda dan ingin mengabdikan hidupnya untuk Tuhan dan sesama. Apakah Tuhan tidak sedang memanggil saudara atau saudari untuk berjalan bersama orang Musey di sini, di Chad, di Djodo-Gassa dan di Tagal? Dokter, insinyur, perawat, ahli gizi, agronom….maukah anda berjalan bersama mereka yang sederhana, yang bekekurangan, yang membutuhkan uluran tangan untuk bisa makin tegar berjalan di belakang Sang Mesias tersalib dan bangkit?
Related