UTILITARIANISME
Oleh: Alexander Ivan
Utilitarianisme dibangun atas dasar prinsip kegunaan (principle of utility) dan prinsip kebahagiaan terbesar (the greatest happines principle). Baik Utilitarianisme tindakan maupun Utilitarianisme peraturan menawarkan jalan keluar dalam menghadapi masalah moral dengan memperhitungkan akibat dan kebaikan lebih besar yang dapat dihasilkan. Tulisan ini akan membahas secara singkat pengertian, keunggulan dan kelemahan dari Utilitarianisme.
Kata Kunci: Utilis, Kegunaan, Utilitarianisme Tindakan, Utilitarianisme Peraturan, HAM
Utilitarianisme, Sebuah Paham Etis
Utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, menguntungkan sebanyak mungkin orang. Utilitarianisme, sebagai teori dikemukakan oleh David Hume (1711-1776) dan dirumuskan secara definitif oleh Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Bentham berpendapat bahwa ada satu prinsip moral yang utama, yakni “Prinsip Utilitas”. Prinsip Utilitas diartikan sebagai properti di setiap objek yang dapat menghasilkan keuntungan, kemanfaatan, kenikmatan dan kebahagiaan atau yang mencegah terjadinya kerusakan, kesakitan, kejahatan atau ketidakbahagiaan.[1]
Murid Bentham, John Stuart Mill membela pemikiran Bentham dengan lebih elegan dan persuasif. Mill berpendapat bahwa aturan pertama moralitas adalah bertindak sedemikian rupa untuk menghasilkan kesejahteraan terbesar, sejauh hal itu dimungkinkan. Oleh karena itu, dalam memutuskan apa yang harus dilakukan setiap orang harus mempertimbangkan macam perilaku manakah yang akan menghasilkan kebahagiaan terbesar untuk semua orang. Moralitas Utilitarian mempunyai gagasan bahwa penganutnya harus memperhatikan kesejahteraan setiap orang secara merata. Seperti yang dikatakan Mill, “kita harus bersikap semaksimal mungkin tidak berpihak, sebagai pengamat yang tanpa pamrih dan baik hati.”
Pertimbangan Utilitarianisme
Pertimbangan-pertimbangan yang ditekankan oleh penganut Utilitarianisme adalah kesejahteraan atau kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip ini menuntun kita agar dapat menentukan pilihan tindakan yang mempunyai konsekuensi yang paling baik bagi setiap orang dalam menghadapi pilihan dari antara tindakan-tindakan alternatif atau kebijakan sosial. Teori ini bersifat teleologis atau konsekuensialis. Kaum ini memandang suatu tindakan itu baik apabila hasil atau konsekuensi dari tindakan itu menghasilkan keuntungan atau kesejahteraan sebanyak mungkin orang. Dengan demikian, maximnya adalah “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga akibatnya, mendatangkan keuntungan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya dan bagi sebanyak mungkin orang atau kerugian sesedikit mungkin. Acuan pertimbangan mengikuti kesadaran diri atau pemikiran pribadi atau peraturan.
Utilitarianisme Tindakan dan Peraturan
Teori etika normatif Utilitarianisme biasanya dibedakan menjadi dua macam, yakni Utilitarianisme Tindakan dan Utilitarianisme Peraturan. Semua penganut Utilitarianisme yang menggunakan acuan pertimbangan mengikuti kesadaran diri bisasanya disebut sebagai penganut Utilitarianisme Tindakan. Sedangkan bagi mereka yang menggunakan acuan pertimbangan peraturan disebut penganut Utilitarianisme Peraturan.
Utilitarianisme Tindakan memiliki maxim yang berbunyi, “Bertindaklah sedemikian rupa sehingga setiap tindakanmu itu menghasilkan akibat-akibat baik yang lebih besar bagi dunia daripada akibat buruknya.” Bagi Utilitarianisme Tindakan tidak ada peraturan umum yang dengan sendirinya berlaku; setiap tindakan mesti dipertimbangkan akibatnya.[2] Utilitarianisme ini banyak dikritik. Salah satu kritikannya adalah Utilitarianisme Tindakan dengan mudah dapat dipakai untuk membenarkan tindakan yang melanggar hukum dengan alasan bahwa akibatnya membawa keuntungan bagi lebih banyak orang daripada akibat buruknya.
Utilitarianisme Peraturan merupakan versi baru dari Utilitarianisme Tindakan (klasik). Maximnya sendiri berbunyi, “Bertindaklah sedemikian rupa seturut dengan aturan-aturan yang paling baik dalam masyarakat.” Versi baru ini menilai suatu tindakan individu itu baik atau salah menurut ketentuan apakah bisa diterima atau tidak oleh aturan-aturan yang lebih baik (menghasilkan kesejahteraan yang lebih besar dari pada kerugiannya) dalam masyarakat. Oleh karena itu, tindakan individu tidak lagi ditimbang secara prinsip utilis tetapi aturanlah yang ditimbang dengan prinsip utilis.
Kelebihan Utilitarianisme
Sebagai teori etika normatif, Utilitarianisme bersifat kritis, karena menolak untuk taat terhadap norma atau peraturan moral yang berlaku dan sebaliknya menuntut pertanggungjawaban mengapa sesuatu itu tidak boleh atau diwajibkan. Tuntutan tanggungjawab itu membuat si pengambil keputusan tidak mencuci tangan tetapi menuntut supaya kita bertindak sedemikain rupa sehingga akibatnya sesuai dengan kepentingan, harapan sebanyak mungkin orang. Dengan demikian etika ini memuat prinsip bahwa manusia bertanggungjawab terhadap sesamanya. Sesama itu adalah orang terkena akiabat tindakan itu.
Kelebihan kedua, Utilitarianisme bersifat universal, artinya memperhatikan kepentingan/keuntungan umum dan bukan hanya kepentingan/keuntungan pribadi si pelaku moral sebagaimana dikemukan oleh egoism etis.[3] Dasar dorongan keuntungan bukan emosional melainkan secara prinsipial atas dasar kepentingan universal atau umum. Oleh karena itu wawasannya secara hakiki bersifat sosial. Jadi Utilitarianisme mempunyai unsur yang cocok bagi moralitas manusia sebagai makluk sosial. Dapat dikatakan juga bahwa moral bukan kewajiban yang kaku dan buta, berdasarkan otoritas yang asing, melainkan moderat dan berdasarkan kebutuhan konkrit yang dirasakan bersama.
Kelebihan ketiga, Utilitarianisme bersifat rasional karena menuntut agar peraturan-peraturan yang ada dipertanggungjawabkan berdasarkan manfaatnya bagi banyak orang dan seandainya tidak demikian peraturan tersebut supaya dilepaskan saja. Ia membuka pemilihan keputusan moral pada dialog dan argumentasi sehingga kita dapat melihat terlebih dahulu segi-segi yang relevan untuk dipakai. Dengan kata lain, Rasionalitas atau alasan moralnya konkrit, karena menyangkut kebutuhan naluriah dan dapat dirasakan langsung. Kebutuhan naluriah ini adalah keuntungan, kesenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan.
Telah kita perhatikan bahwa Utilitarianisme membawa suatu prinsip etis yang lebih rasional, mengedepankan aspek sosial (kebaikan sebanyak mungkin orang), dan menekankan aspek universalitasnya. Kiranya juga, seperti yang dikatakan Romo Magnis, “…bahwa Utilitarianisme merupakan suatu prinsip etis yang bermutu tinggi…karena merupakan kesimpulan dari kewajiban kita untuk bertanggungjawab terhadap sesama,… yaitu terhadap siapa saja kita hendaknya selalu mengambil sikap baik.”[4]
Kelemahan-kelemahan[5]
Sebagai sebuah aliran dalam filsafat, Utilitarianisme tidak terlepas dari berbagai kritikan. Ada beberapa kelemahan aliran ini yang mendapat tanggapan kritis dari para pengkritiknya. Tanggapan-tanggapan kritis itu termuat dalam hal-hal berikut.
Kesulitan menentukan nilai suatu akibat
Oleh karena Utilitarisme mengkaitkan moralitas suatu tindakan dengan jumlah akibat baik yang melebihi akibat buruknya, maka pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nilai suatu akibat itu dapat ditentukan. Pertanyaan ini harus dapat dijawab kalau kaidah Utilitarianisme mau dipakai. Kalau kita mau memakai kelebihan akibat baik terhadap akibat buruk sebagai tolok ukur moral, maka kita harus tahu apa arti “lebih besar” dalam hubungan dengan nilai. Bagaimana cara menghitung lebih besarnya akibat-akibat baik atau buruk? Kalau kita membatasi diri pada pembandingan akibat tindakan dari segi nilai kenikmatan (hedonistik) saja rupanya perbandingan kuantitas sudah menghadapi kesulitan. Rasa nikmat ada bermacam-macam dan sulit dibandingkan: kenikmatan karena memuaskan nafsu makan, nafsu seks, nafsu marah, nafsu balas dendam; kenikmatan tidur, kenikmatan merokok, naik gunung, berenang dsb. Kesulitan menjadi lebih besar lagi kalau masih harus membandingkan besar-kecilnya akibat baik dan akibat buruk yang ditimbulkannya. Sebagai contoh misalnya, sulit sekali untuk menentukan mana dari kemungkinan tindakan berikut yang paling besar membawa kenikmatan sebagai akibatnya: pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi, mendengarkan siaran wayang sambil main gaple?
Untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Jeremy Bentham misalnya mencoba untuk memperhitungkan “nilai senang: dari pelbagi kegiatan manusia guna dapat diperbandingkan jumlahnya satu sama lain. Ia mengemukan ada tujuh dimensi yang perlu diperhatikan dalam perhitungan (hedonic calculus) tersebut, yakni intensitasnya, lamanya berlangsung, kepastiannya, kedekatannya dengan kecondongan pribadi, kesuburannya, kemurniannya, dan keluasannya.[6] Hasil perhitungan semacam itu tidak meyakinkan. Maka tokoh Utilitarian lain, John Stuart Mill (1806-1873) dalam karangannya yang terkenal Utilitarianism (yang pertama-tama merumuskan teori Utilitarisme secara khusus) mengakui bahwa usaha semacam itu tidak dapat berhasil. Ia memasukkan unsur baru ke dalam perhitungan, yaitu unsur “kualitas” di samping unsur “kuantitas”. Akan tetapi, dengan berbuat demikian suatu “perhitungan” tepat tentang jumlah akibat baik dan akibat buruk menjadi sama sekali tidak mungkin lagi.
Di lain pihak kesulitan itu tidak boleh dilebih-lebihkan. Dalam teori memang sulit sekali memperbandingkan nilai-nilai yang berlainan secara kualitatif. Namun dalam praktek hidup sehari-hari biasanya kita kurang lebih dapat menentukannya, baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain. Dalam praktek hidup sehari-hari kurang lebih kita dapat menentukan mana yang akan membawa akibat baik lebih besar (dalam arti lebih menyenangkan): pergi menonton film, makan sate ayam bersama teman, atau baca-baca di rumah sambil mendengarkan musik yang kita senangi. Mana yang baik dan mana yang buruk (dilihat dari kuantitas dan kualitas rasa senangnya) akan sangat tergantung situasi. Pergi menonton film bisa sangat menyenangkan, tetapi kalau untuk itu harus pergi dengan naik sepeda di tengah hujan lebat ya lebih baik tinggal di rumah untuk baca-baca sambil mendengarkan musik yang kita senangi.
Bertentangan dengan prinsip keadilan
Keberatan paling pokok yang biasa dikemukakan terhadap teori etika Utilitarisme adalah bahwa kaidah dasar yang dikemukakan oleh teori tersebut dapat bertentangan dengan prinsip keadilan. Keberatan ini adalah keberatan yang secara kritis dapat dikemukakan terhadap penentuan kebijakan pemerintah atau penguasa yang mengambil prinsip atau kaidah utilitarian sebagai pokok acuan untuk berargumentasi. Sebagai contoh misalnya dalam suatu proyek pembuatan jalan tol, keluarga Sukri terkena gusur. Ia tidak mau membongkar rumahnya dan berpindah tempat karena ia merasa diperlakukan tidak adil. Uang ganti rugi yang ia peroleh jauh dari mencukupi untuk dapat membeli rumah yang kurang lebih sama di tempat lain. Ia juga merasa jengkel karena ini sudah kedua kalinya ia terkena gusur. Dulu sebelum membeli tanah dan membangun rumah di tempat itu ia sudah bertanya pada dinas tatakota tentang rencana pembangunan kota, dan ia mendapat jawaban bahwa daerah itu aman. Ternyata, baru beberapa tahun sudah ada perubahan.
Setelah perundingan yang alot, akhirnya pemerintah daerah memberikan ultimatum pada Sukri bahwa bagaimanapun juga proyek harus jalan, dan kalau pada tanggal tertentu Sukri dan keluarganya tidak pindah, maka rumahnya akan dibuldozer dengan paksa. Dalam membela tindakannya, pihak pemda selalu menyatakan bahwa Sukri terlalu mendahulukan kepentingannya sendiri dan tidak mempedulikan kepentingan umum. Pemda sebenarnya tidak mau merugikan Sukri, tetapi tidak ada jalan lain. Sukri semestinya sadar bahwa kerugian yang dia tanggung tidaklah seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang akan dapat dinikmati oleh orang banyak dengan adanya jalan tol di daerah itu.
Berdasarkan prinsip Utilitarian, penalaran aparat pemda di atas logis dan dapat dibenarkan. Akan tetapi prinsip tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan, karena menurut prinsip keadilan setiap manusia sebagai seorang pribadi (persona) itu bernilai dan merupakan tujuan dalam dirinya sendiri. Manusia sebagai seorang pribadi tidak pernah boleh dikorbankan demi manusia lain. Ia mempunyai hak asasi yang sama dengan manusia lain. Ini berarti bahwa dalam kasus di atas, Sukri sebagai seorang pribadi mempunyai hak-hak asasi yang harus dihormati pula oleh pihak pemda. Menjadikan dia dan keluarganya sebagai “tumbal” yang harus dikorbankan demi kesejahteraan banyak orang lain, secara moral tidak dapat diterima.
Tidak memadainya prinsip Utilitarian sebagai prinsip moral karena bertentangan dengan prinsip keadilan juga nampak dalam kasus lain sebagai berikut: Menjelang Pemilu biasanya situasi agak rawan dan adanya “gang” atau kelompok-kelompok “gali” yang merampok dan membuat kerusuhan akan mudah ditunggangi oleh mereka yang sengaja mau mengacaukan keadaan. Maka demi menjaga ketenangan masyarakat dan mengamankan Pemilu diadakanlah operasi penertiban keamanan masyarakat. Orang-orang yang dicurigai sebagai “gali” dan perusuh langsung diculik dan dijebloskan ke dalam penjara atau malah ada yang secara misterius hilang dan tahu-tahu sudah diketemukan sebagai mayat di suatu tempat. Operasi tersebut secara pragmatik-utilitarian sepertinya menguntungkan bagi masyarakat. Banyak anggota masyarakat merasa senang karena mereka tidak diganggu lagi oleh para “gali” tersebut. Yang dirugikan hanyalah orang-orang yang dituduh ataupun dicap sebagai “gali”.Apa yang secara pragmatik-utilitarian nampaknya menguntungkan banyak orang itu sebenarnya secara moral tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan prinsip keadilan.
Orang yang dituduh “gali” pun adalah manusia yang memiliki hak-hak asasi yang tidak dapat dilanggar begitu saja. Kendati jumlah mereka relatif sedikit dibandingkan dengan keseluruhan penduduk, dan di antara mereka memang mungkin ada yang sungguh-sungguh jahat, secara hukum mereka memiliki hak yang disebut “praduga tak bersalah”, artinya sebelum terbukti melalui proses pengadilan bahwa seseorang itu bersalah, orang tidak boleh langsung menjatuhkan hukuman kepada mereka; apalagi hukuman yang tidak setimpal dengan perbuatan mereka. Bahwa banyak orang diuntungkan oleh tindakan menghukum orang-orang itu, secara moral tidak dengan sendirinya membenarkan tindakan tersebut. Tambahan pula, secara hukum pun tindakan macam itu dalam jangka panjang dapat merugikan, karena kepastian hukum lalu digoyahkan. Masyarakat akan dicengkam oleh rasa takut terhadap kesewenangan penguasa yang sepertinya dapat bertindak di luar jalur hukum bila dipertimbangkan bahwa kepentingan umum menuntutnya.
Secara lebih luas, Utilitarianisme dapat mendorong terjadinya tindakan diskriminatif terhadap minoritas. Kasus izin pendirian rumah ibadat, seperti yang terjadi di Aceh, misalnya menggambarkan bagaimana perlakuan tidak sama atau tidak adil kepada kaum minoritas itu terjadi. Dalam hal ini, kepentingan banyak orang mengorbankan minoritas, terutama menyangkut hak dasar.
Penutup
Telah kita lihat bahwa Utilitarianisme membawa suatu prinsip etis yang lebih rasional, mengedepankan aspek sosial (kebaikan sebanyak mungkin orang), dan menekankan aspek universalitasnya dari pada teori etika tradisional. Sebagai sebuah aliran dalam filsafat, Utilitarianisme tidak terlepas dari berbagai kritikan-keritikan yang memperlihatkan kelemahannya. Kelemahannya itu adalah sulitnya menentukan nilai suatu akibat, berpeluang besar untuk menimbulkan ketidakadilan, dan pelanggaran HAM. Dari teori ini kita dapat mengambil sisi positif atau kelebihannya dalam mempertimbangkan prilaku moral kita. Kita diingatkan untuk tidak menjadi fundamentalis yang taat-buta segala peraturan yang ada, tetapi menjadi rasionalis yang selalu mempertimbangkan perilaku moral kita demi kebaikan bersama.
Daftar Pustaka
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, Kanisius:Yogyakarta, 1987.
Sudarminta, J, Eika Umum:Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STF Driyarkara: Jakarta, 2010.
Tim Mulgan (ed.), Understanding Utilitarianism, Acumen:Stocksfield, 2007.
[1] Lih. “By utility is meant the property in any object,…tends to produce benefit…” dalam Bentham, “Introduction to Principles of Morals and Legislation”, 1789, dikutip dalam Tim Mulgan (ed.), Understanding Utilitarianism, (Acumen:Stocksfield, 2007), 10.
[2] [2] Lih. “Utilitarianisme juga bersifat Universal…” dalam Sudarminta, J, Eika Umum:Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STF Driyarkara: Jakarta, 2010), 130.
[3] Lih. “Utilitarianisme juga bersifat Universal…” dalam Sudarminta, J, Eika Umum:Kajian Tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, 129.
[4] Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar, (Kanisius:Yogyakarta, 1987), 126.
[5] Disarikan dari buku J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, 130-136.
[6] Lih. “The value of pleasure is entirely determined by seven measures of quantity…” dalam Tim Mulgan, Understanding Utilitarianism, 10.