Hari Minggu Kitab Suci Nasional

Menjadikan Dunia Satu Keluaga

Hari Minggu Kitab Suci Nasional

Renungan Mingguan
Hari Minggu Kitab Suci Nasional
Mat 16:21-28
Salib Kehidupan

Manusia, pada umumnya, sangat tidak menginginkan suatu penderitaan. Manusia melakukan banyak cara agar kesehatan terjaga dan penderitaan serta tantangan hidup bisa diatasi sebaik mungkin. Terlepas dari usaha tersebut, satu hal yang tidak bisa kita hindari yaitu kematian. Kematian adalah “pacar” yang paling setia menemani kita kapan pun dan di mana pun. Demikianlah ungkapan yang dilontarkan oleh Sinta Ridwan seorang novelis muda. Bacaan injil yang dibacakan pada hari ini melukiskan sosok Yesus yang mau menjelaskan secara terbuka kepada para murid-Nya bahwa ada saatnya Ia akan menanggung penderitaan yang besar bahkan membawa Ia pada kematian. Tentu, bagi para murid khususnya Petrus, ini hal yang mesti dijauhi bahkan tidak boleh terjadi pada Guru mereka. Di sini letak perbedaan logika Yesus dan logika Petrus sebagai manusia.
Yesus menyadari betul tugas-Nya yaitu menjadi “tebusan” bagi dosa manusia. Ia memilih Murid-murid-Nya untuk menjadi bagian dari misi itu, dalam hal ini para murid pun terlibat dalam penderitaan-Nya namun sayang murid-muridnya tidak berpikir sampai pada titik itu. Para Murid tidak mengerti apa artinya menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Yesus. Logika Petrus sebagai seorang manusia yang berpikir sebagimana manusia biasanya bahwa seorang pemimpin mesti dijauhi dari segala ancaman dan oleh karena itu perlu pengawasan ketat padanya sebagaimana layaknya Presiden yang dijaga ketat oleh Paspampres. “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu, hal itu tidak sekali-sekali menimpa Engkau”. Hal ini sedikit mau memberi gambaran bahwa kebersamaannya dengan Yesus tidak menjamin suatu pemahaman dan pengenalan yang mendalam tentang diri Yesus.
Petrus hanya sebatas berpikir bahwa Yesus hanya sebagai mesias anak Allah, titik. Padahal sebagai anak Allah Ia mesti menanggung banyak penderitaan hingga wafat di salib demi menebus dosa manusia. Ungkapan Yesus yang mengatakan bahwa Ia akan menderita sengsara membuka pengetahuan para murid bahwa mengikuti Yesus mesti menjadi bagain dalam suka dan duka sebagaimana yang dialami oleh Yesus.
Jika manusia menolak Salib atau penderitaan di saat yang sama kita menolak kehadiran Kristus dalam diri kita. Penderitaan bukanlah hal yang mesti dihindari melainkan dihadapi, dalam pergulatan menghadapi penderitaan kita justru diundang untuk melibatkan Yesus di dalamnya. Yesu sendiri berpesan, “ datanglah hai kamu yang letih lesuh dan berbeban berat, datanglah kepada-Ku, Aku akan memberikan kelegahan kepadamu”. Berkaitan dengan penderitaan, Yesus berbicara terang-terangan kepada murid-murid-Nya. Ia bersabda, barangsiapa mau mengikuti Aku , ia harus menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Aku. Menyangkal diri dalam artian berani mengalakan ego, ketakutan, rasa aman, dan kecemasan yang tidak perlu sebagaiman yang dialami oleh Petrus. Dengan menyangkal diri, kita bisa keluar dari “kemanusiaan” kita menuju logika Kristiani yaitu mencintai dengan penuh pengorbanan Kristus dan sesama meskipun mengorbankan diri. Di sini letak darah kemartiran kita.
Dalam kehidupan sehari-hari tak jarang kita berhadapan dengan berbagai pergulatan dan tantangan hidup. Di saat itu, kita mesti melihat tentangan sebagi salib yang mesti dipikul bersama Kritus. Sikap menyangkal diri dan memikil salib merupakan suatu syarat mutlak mengikuti Yesus. tentu dalam kehidupan sehari-hari setiap kita memiliki salib hidup sesuai dengan ukuran masing-masing, namun bukan besar kecilnya salib yang menjadi ukuran melainkan kesetiaan dan kepasrahan kepada Yesus dalam memikul salib itu adalah hal yang paling penting. Hanya dengan cara demikian kita bisa keluar dari logika manusiawi kita menuju logika transendental yaitu Kristus itu sendiri.
Ervino Hebry Handoko

Leave a Reply

Your email address will not be published.