RENUNGAN MINGGU BIASA XXV
Renungan Minggu Biasa XXV
Bac. I Amos 8:4-7
Bac. II 1Tim. 2:1-8
Injil Luk. 16:1-13
Mamon atau Manusia?
“…Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.”(Luk. 16:9)
Menjelang Pemilu (Pilkada, Pileg, dst), kandidat yang akan bertarung dalam pemilihan itu biasanya menjanjikan sejumlah program yang akan “direalisasikan” kalau terpilih. Program itu tentu harus pro-rakyat/mendukung kesejahteraan rakyat. Tak hanya menjual program, moment itu menjadi ajang untuk berbagi “uang” kepada rakyat. Rakyat tentu saja menerima dengan senang hati tersebut. Mereka tidak mempedulikan apakah uang itu diperoleh secara halal atau tidak (alias korupsi). “Mumpung lagi ada rejeki, ngapain ditolak,” begitulah reaksi orang-orang yang menerima uang itu. Uang pun akhirnya menjadi dewa yang bisa meraja manusia.
Mamon atau uang pada dasarnya tidak jahat. Mamon itu menjadi tidak baik karena orang salah mempergunakannya. Manusia itu adalah anugerah. Ia diciptakan se-citra dengan Allah. Martabat yang luhur dan mulia itu seakan-akan tak dianggap lagi saat Pemilu. Sebab, di sana manusia bisa dirupiahkan. Dengan memilih nama tertentu, dia mendapat uang sebagai bayaran. Dirinya dibeli bak barang yang dijual di supermarket. Padahal, manusia itu sungguh bernilai daripada uang atau mammon. Lalu, kenapa pada saat demikian orang begitu mudah dikuasai oleh mamon itu hingga melupakan martabatnya? Mamon itu tidak lagi digunakan pada tempatnya.
Bacaan-bacaan yang kita dengarkan dan renungkan pada Minggu Biasa XXV ini menantang kita untuk memilih “mamon atau manusia.” Nubuat nabi Amos dalam bacaan I memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana orang-orang yang berkuasa itu memperbudak orang lain hanya karena uang. Uang di sana menjadi sarana untuk membeli orang papa, memperbudak orang miskin dan membinasakan orang sengsara (bdk. Amos 8:4). Allah tentu saja tidak menginginkan kekuasaan dan kekayaan itu untuk memperbudak sesama. Kekayaan (uang) bisa menjadi sarana untuk melakukan suatu kebaikan bagi sesama. Sikap inilah yang ditunjukkan oleh Bendahara dalam kisah bacaan Injil. Bendahara itu tahu bahwa uang itu tidak menjamin hidup dalam keabadian.Oleh karena itu, dia mempergunakan kekayaan itu untuk membangun suatu persahabatan.
Saya kagum terhadap sikap yang dipilih oleh sang bendahara. Di satu pihak, dia memang melakukan suatu perbuatan yang tidak jujur. Sebab, dia memanfaatkan harta tuannya demi keuntungannya; dan bahkan dia melakukan itu tanpa se-pengetahuan sang tuan. Di lain pihak, dia adalah pribadi yang bebas dan kreatif. Dia tidak tunduk pada harta kekayaan, melainkan mencari peluang untuk memanfaatkan kekayaan itu untuk sesuatu yang bernilai. Kekayaan itu menjadi jalan baginya untuk mengikat persahabatan dengan sesama. Kekayaan itu tidak mengantar kita pada hidup yang abadi, melainkan kesatuan dengan Allah. Melepaskan diri dari ikatan duniawi adalah sarana bagi kita untuk semakin bebas dan dalam relasi kita dengan Alah.
Apakah kita sudah menjadi orang yang bebas? Apakah hidup kita masih dikuasai oleh uang? Bukankah diri kita lebih berharga daripada uang? Pemilu bukanlah ajang untuk “menjual” diri dengan merupiahkan suara kita melainkan tunjukkan bahwa kita ini sungguh-sungguh makhluk bermartabat. “Suara rakyat adalah suara Tuhan”. Kita memilih berdasarkan kebebasan kita dan bukan karena intervensi orang lain. Sikap bendahara tadi menjadi model bagi kita untuk berani memilih sebab apa yang kita pilih itu punya nilai kebaikan, baik untuk diri kita maupun untuk orang lain.
Fr. B. Kardi SX