Radikalisme Agama Menghancurkan Tatanan Negara
Sikap radikalisme membawa manusia pada situasi destruktif yang mengakibatkan mundurnya toleransi kemanusiaan. Keberadaan negara, pertama-tama adalah melindungi warga negara dari setiap ancaman kemanusiaan yang di dalamnya mencakup setiap aspek kehidupan. Aspek kehidupan itu antara lain; kenyamanan, kesejateraan, dan kebebasan. Bagi saya, ketiga hal ini harus diiutamakan dalam kehidupan berbangsa.
Indonesia, dengan Jumlah penduduk terbesar keempat di dunia memiliki tantangan besar dalam memenuhi ketiga hal di atas. Namun jika disederhanakan ketiga aspek di atas sebenarnya datang dan dikendalikan oleh masyarakat sendiri. Negara hadir sebagai penegak sejati bukan memihak atau takut pada kelompok tertentu. Dengan demikian, kenyamanan, kesejahteraan, dan kebebasan tercapai ketika pemerintah dapat mengendalikan dan menghilangkan semua kecenderungan yang menghambat tercapainya tiga aspek ini.
Salah-satu masalah yang saya angkat adalah radikalisme. Sikap ini memberi dampak negatif pada tatanan kehidupan masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Radikalisme dapat terjadi dalam berbagai bidang baik dalam dunia politik, sosial, dan ekonomi. Dalam dunia politik dapat dilihat pada pemilu presiden 2014-2015 di mana kedua kubu sempat bersih kukuh menganggap diri sebagai pemenang tanpa melalui Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang berwenang dalam memberi keputusan. Tentu, masih banyak contoh dari dunia ekonomi ataupun dunia sosial.
Indonesia sudah mengalami kemerdekaan selama 69 tahun di mana Pancasila menjadi Ideologi yang tak tergoyahkan. Pancasila sepertinya menjadi jawaban bagi kemajemukan bangsa Indonesia baik dari segi Budaya maupun keyakinan. Namun, masalah pluralis masih terus dihadapi oleh bangsa Indonesia yang menjadi indikator kurangnya kenyaman, kesejahteraan dan kebebasan masyarakat.
Radikalisme agama menjadi salah-satu penghalang dalam mencapai kenyamanan, kesejahteraan, dan kebebasan masyarakat. Munculnya kelompok pembela agama tertentu memberi ruang bagi terjadinya radikalisme. Dalam situasi ini, negara sepertinya lupa akan tugasnya sebagai satu-satunya penjamin hak bagi rakyatnya. Sebut saja, Gereja Yasmin sampai sekarang ini belum diizinkan untuk mendirikan rumah Ibadah. Bukankah bunyi silah pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”?, dengan demikian jaminan kebebasan dalam beryakinan menjadi prioritas pertama. Maka, negara dalam konteks ini berkewajiban dalam memberi kebebasan untuk berkeyakinan bagi masyarakatnya. Memang, Indonesia bukan negara yang digolongkan dalam kelompok sekuler atau non-sekuler, tetapi Pancasila menjadi jawaban dalam kebimbangan ini.
Pancasila tidak memutlakan suatu keyakinan tertentu namun justru sebaliknya Pancasila menghargai setiap keyakianan itu yang tersirat dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia. Hadirnya kelompok minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah atau kelompok minoritas lainnya tidak dapat dijadikan alasan untuk berkontra dengan kelompok mayoritas. Negara dalam hal ini Pemerintah mesti jelih apakah kelompok minoritas itu sudah mengganggu kenyamanan, kesejahteraan, kebebasan bagi kelompok lain? Atau itu hanya pada sebatas persepsi dari kelompok atau keyakinanan lain terhadap keyakinan atau kelompok minoritas.
Kelompok minoritas menjadi “korban persepsi buruk kelompok mayoritas”. Kelompok minoritas seperti Ahmahdiyah atau Gereja Yasmin bukanlah kelompok yang mesti ditiadakan dari tatanan Negara. Pertama-tama, pemerintah harus memperhatikan hak mereka sebagai warga Negara karena Indonesia tidak berdiri atas asas keyakinan tertentu tetapi atas asas Pancasila.
Radikalisme agama sangat jelas merusak tatanan Negara karena telah melanggar apa yang menjadi ideologi bangsa yaitu Pancasila. Oleh karena itu, beberapa hal penting yang mesti diperhatikan oleh pemerintah dan kita semua adalah pertama, setiap keyakinan yang ada pada dasarnya membawa pengkitunya pada sebuah kehidupan yang menuntut adanya kenyamanan, kesejahteraan dan kebebasan. Kedua, keberadaan manusia sebagai makhluk yang bermartabat menjadi dampak dari apa yang menjadi keyakinan kita, dengan demikian semua tindakan yang mencabut hak dan martabat orang lain akan menjauhkan manusia itu dari ajaran yang diyakiananinya.
Ketiga, pemerintah harus memprioritaskan pada hak dan martabat masyarakat sebagai warga Negara tanpa harus takut memberi hukuman pada setiap oknum yang mencabut hak dan martabat orang lain sebagai warga negara. Keempat, kehadiran agama harus memberi dampak pada perdamaiaan bukan pada perpecahan dan kalau belum maka langkah yang mesti dilakukan adalah usaha preventif dalam menghilangkan konflik akibat perbedaan keyakinan itu.
Sebagai penutup dari tulisan ini, saya mau mengajak kita untuk kembali ke fakta masa lalu bangsa Indonesia. Bukankah para pendahulu kita menerima setiap keyakinan yang kita miliki dari kelompok yang tidak berakar budaya Indonesia? Nenek moyang kita menerima setiap keyakinan tanpa adanya “persepsi buruk” terhadap keyakinan itu sekalipun itu bukanlah budaya Indonesia. Sebut saja, Hindhu-Budha, keyakinan yang berkembang di dataran sungai Hindus, Islam adalah keyakianan yang berkembang dalam budaya Arab dan Kristen keyakinan yang berkambang dalam budaya Arab dan Eropa. Oleh karena itu, marilah kita belajar pada Nenek Moyang bangsa Indonesia yang telah terbuka terhadap budaya dan keyakinan lain sekalipun itu bukan keyakinan yang berakar budaya kita, sehingga Indonesia dapat bertumbuh dan berkembang sampai sekarang ini.
(Fr.Melkior Sedek)