Renungan Th.B Minggu Biasa VI
Peraturan Manusia dan Kerahiman Kristus
Im. 13:1-2,44-46; Mzm. 32:1-2,5,11; 1Kor. 10:31 – 11:1; Mrk. 1:40-45
Ciputat, Januari 2013.
Ketika menjalani masa Pra-Novis, saya dan seorang teman menjalani masa Live-in di sebuah panti rehabilitasi orang cacat. Di tempat ini, kami hidup dan tinggal bersama orang-orang cacat baik fisik maupun mental. Perasaan jijik dan prasangka akan terjangkit, sering muncul dalam hari-hari pertama. Namun berkat teladan para perawat yang sehari-hari mengurus mereka, saya pun mulai menyadari bahwa betapa mulia pekerjaan mereka. Kini, saya pun merasa menyesal karena telah merasa “jijik dan membuat prasangka-prasangka buruk” terhadap teman-teman yang cacat itu.
Dalam bacaan pertama, dikisahkan sebuah aturan dalam adat-istiadat Yahudi tentang orang-orang yang terkena penyakit kusta. Dalam aturan itu ditegaskan bahwa orang kusta harus dijauhkan dari khalayak umum. Lebih dari itu, mereka juga harus dinyatakan najis oleh para Imam dan mereka harus meneriakan, “najis!, najis!” supaya orang tahu bahwa mereka mengalami penyakit kusta. Bagi saya, ini merupakan suatu yang sulit diterima dari sisi kemanusiaannya. Dia pun tentu merasa terasing dan malu dalam menjalani kehidupan ini. Namun, itu merupakan hal yang sulit baginya untuk dihindari karena ia hidup di tempat di mana hukum atau aturan itu berlaku.
Yesus membawa sebuah revolusi aturan yang luar biasa. Yesus akhirnya mengangkat martabat sebagai manusia dari penderita kusta itu. Ia tidak hanya menjamah tetapi juga menyembuhkan. Suatu perubahan yang luar biasa yang dapat menyadarkan orang yahudi zaman itu dan kita sekarang ini. Tentu, Yesus tidak memberi tanggungjawab bagi kita untuk menyembuhkan “penyakit kusta itu” tetapi Dia mau memberi penekanan bahwa martabat sebagai manusia jauh di atas penyakit kusta, jauh di atas aturan manusia, dan jauh di atas semua pesimisme manusia.
Melihat “penderita kusta” sebagai citra Allah yang bermartabat, itulah impian dan kemauan Kristus. Selain dari itu, tindakan Yesus mau menegaskan bahwa manusia tidak memiliki hak untuk mengklaim manusia lain dari segi apakah ia “najis atau tidak”. Yesus mau mengubah pandangan orang-orang yahudi bahwa “penyakit kusta” bukanlah menjadi akhir atau penentu dari kehidupan seseorang. Yesus mau mengajak kita untuk merasa bahwa penderita kusta pun salah-satu mahkluk Tuhan yang mesti dikasihi.
Diakhiri renungan ini, saya mau mengajak kita semua untuk menemukan beberapa pengalaman di mana kita sudah tertipu oleh rasa jijik, tertipu oleh perasaan, dan tertipu oleh bayang-bayang aturan manusia. Dan dari peristiwa itu, mungkin kita akhirnya tidak melihat lagi manusia lain sebagai ciptaan Tuhan yang bermartabat, yang melampaui semua rasa jijik, najis, dan prasangka-prasangka buruk kita. Semoga kita pun dapat disadarkan oleh tindakan Yesus ini. Sebagai penutup dari renungan ini, saya akan menceritakan pengalaman terkait dengan rasa jijik, perasaan, dan prasangka yang memasukan saya dalam sebuah situasi tidak menghargai sesama sebagai citra Allah yang mesti dikasihi.
Semoga saya dapat belajar dari pengalamn ini dan teladan dari Yesus sendiri. Amin
(Fr. Melkior Sedek)